Saturday 23 September 2017

Judge Bao / Justice Bao (包青天 )


Tahun 1993 silam, ada sebuah serial televisi yang lengendaris sekali. Judulnya Judge Bao / Justice Bao. Buat penggemar cerita klasik Tiongkok, Judge Bao (包青天 - Bao Ching Tien) bukanlah cerita baru dan sudah dikenal sejak ratusan tahun silam.

Judge Bao adalah kisah tentang seorang Hakim Jujur dan Adil bernama Bao Zheng (11 April 999 - 20 Mei 1062) yang hidup di masa Dinasti Song. Sepanjang karirnya menjadi Hakim Negara, dia terkenal sebagai Hakim yang selalu mampu menilai sebuah kasus dengan arif-bijaksana. Bahkan dia tidak segan-segan menghukum siapapun dengan hukuman berat jika mereka terbukti bersalah, entah pelakunya rakyat jelata maupun orang kaya, bahkan Anggota Keluarga Kerajaan sekalipun.

Sikap Bao Zheng ini menjadi panutan dan inspirasi banyak orang, sehingga sering dibuat dalam bentuk novel, komik, maupun film serta serial televisi.

Nah, pada tahun 1993, Jaringan televisi CTS - Taiwan merilis sebuah serial berjudul Justice Bao (包青天 ). Serial ini diperani oleh Jin Chao Chun (金超群) dan Kenny Ho (何家勁 - He Jia Jin). Awalnya serial ini hanya dibuat sebanyak 15 episode saja. Tetapi saat ditayangkan, serial ini meraih penonton yang banyak sekali. Tidak saja di Taiwan, tetapi menyebar hingga ke Asia Tenggara, termasuk Indonesaia.

Respon yang sangat positif dari penonton, membuat CTS akhirnya memproduksi kembali serial ini hingga total 236 episode !!!! Wow... sungguh luar biasa... !!!!

Berbeda dengan serial televisi pada umumnya yang menampilkan cerita bersambung terus-menerus, Justice Bao tidak menampilkan cerita yang bersambung (meski sesekali ada 1 hal yang berhubungan dengan kasus sebelumnya), tetapi dibuat menjadi cerita pendek yang menampilkan 1 kasus. Setiap kasus atau cerita pendek rata-rata 3 - 9 episode.

Dalam serial Justice Bao ini, ada 42 kasus yang dibuat. Dan dari semua kasus di serial tesebut, Kasus Za Mei An (鍘美案) adalah kasus yang paling legendaris yang mendapat perhatian paling besar dari penonton.

Dalam catatan sejarah, Za Mei An adalah salah satu kasus paling menarik yang pernah ditangani Justice Bao dan menunjukkan betapa tegasnya dia dalam menangani setiap kasus.Kasus ini termuat dalam buku "Ilustrated Edition of Bao Zheng's Trial of a Hundred Legal Cases" ( 增像包龙图判百家公案) yang diterbitkan tahun 1595. Dikisahkan ada seorang Pelajar yang sangat cerdas bernama Chen She Mei (陈 世美) yang berhasil lulus dari ujian Kerajaan dengan Predikat Tertinggi. Atas prestasinya, dia tidak saja mendapatkan hadiah dari Kaisar tetapi juga dinikahkan dengan Anak Kaisar.

Sebenarnya Chen She Mei sendiri sudah menikah dan punya anak. Namun demi meraih kekuasaan, dia tidak menceritakan hal ini pada Kaisar dan istrinya.

Satu ketika, istri Chen She Mei menyusul ke kota, menemui suaminya. Tetapi Chen She Mei tidak mengakui istrinya, bahkan menyuruh orang untuk membunuhnya. Beruntung pembunuh Chen She Mei adalah orang yang baik hati, dan melepaskannya. Istri Chen She Mei kemudian mengadukan nasibnya pada Kehakiman Negara, yang saat itu dipimpin Bao Zheng.

Bao Zheng pun mengadili Chen She Mei, dan - berdasarkan fakta dan data yang didapat - Bao Zheng menjatuhkan hukuman mati pada Chen She Mei karena menelantarkan serta berusaha membunuh istrinya sendiri. Sebelum Chen She Mei dieksekusi, tiba-tiba muncullah Ibu Suri Kerajaan yang membel Chen She Mei. Tapi demi menegakkan keadilan, Bao Zheng mempertaruhkan jabatannya dan tetap menghukum mati Chen She Mei.

Kisah Za Mei An ini sangat sering dimainkan di Opera Beijing, bahkan sudah menjadi cerita klasik yang dimainkan sejak Dinasti Song.



DO YOU KNOW?
Theme song serial Justice Bao berjudul Bao Cing Thien yang dinyanyikan oleh Hu Kua. Lagu ini sebenarnya pertama kali digunakan sebagai theme song di serial televisi Judge Bao (juga produksi CTS - Taiwan) yang dirilis 1974. Waktu itu, lagu ini dinyanyikan oleh Chiang Kuang Chao. Meski demikian, lagu versi Hu Kua inilah yang dikenal banyak orang dan menjadi versi theme song Judge Bao yang paling sering digunakan. Pasca kesuksesan serial Justice Bao, lagu ini pun ikut sukses dan sering digunakan sebagai theme song semua serial Judge Bao.

Selain dinyanyikan Chiang Kuang Chao dan Hu Kua, theme song Judge Bao juga pernah di-remake dan dinyanyikan oleh artis lain, yaitu George Lam, Ray Liu, dan Andy Lau. Bahkan lagu ini pun pernah dinyanyikan dalam versi Tagalog - Filipina saat serial tersebut ditayangkan di stasiun televisi Filipina ABC-5.

Sementara itu, lagu penutup (ending song) serial Justice Bao berjudul Xin Yen Yang Hu Die Meng (新鴛鴦蝴蝶夢) dinyanyikan oleh Huang An. Lagu ini menjadi lagu yang sangat populer di masa itu, tidak saja di Taiwan tetapi juga seluruh negara. Lagu ini terdapat dalam album Huang An, dan album tersebut terjual hingga jutaan kopi.

Hingga hari ini, lagu Xin Yen Yang Hu Die Meng masih sering diputar dan disukai banyak orang. Selain Huang An, lagu ini pernah dinyanyikan juga oleh Kenny Ho, dan Albert Tung. Selain menyanyikan lagu ini dalam bahasa Mandarin, Huang An pun pernah menyanyikan lagu ini dengan lirik Kanton (berduet dengan Loletta Lee) dan Inggris (dengan judul "When It Comes To Love"). Selain itu, lagu ini pernah juga dinyanyikan oleh artis lain dalam versi bahasa Hokkien (Joice Lim), Thailand (Kong Tuansith Reamchinda), Vietnam (Dan Truong), Khmer (Khemarak Sereymon), dan bahasa Indonesia (Lavenia). Untuk versi Indonesia, judul lagunya diubah menjadi "Melodi Memori". Sama seperti versi aslinya, lagu yang dinyanyikan Lavenia ini pun sangat popuper di era 1990-an.
Jin Chao Chun : Sebelum dan sesudah berdandan menjadi Judge Bao

Pasca kesuksesan serial televisi Justice Bao, banyak stasiun televisi (baik Taiwan dan Hongkong) yang kemudian membuat-ulang serial tersebut. Dan Jin Chao Chun hampir selalu dipercaya untuk memerani karakter Justice Bao. Berkat perannya sebagai Bao Zheng, Jin Chao Chun membukukan rekor sebagai satu-satunya aktor Asia Tenggara yang memerani karakter yang sama dalam serial televisi sebanyak 700 episode.

Thursday 21 September 2017

Heroes Two (方世玉與洪熙官)

Salah satu daya tarik yang dapat menarik minat penonton untuk menonton sebuah film adalah ketika film itu diperani aktor yang sedang digandrungi saat ini, atau ceritanya tentang tokoh atau karakter yang disukai penonton.

Nah, film Heroes Two memiliki 2 unsur tersebut. Wajar jika film ini kemudian menjadi salah satu film yang sukses di masanya.

Heroes Two adalah film produksi Shaw Brothers yang dirilis tahun 1974. Pemeran utama film ini adalah Chen Kuan Tai dan Alexander Fu Sheng, di mana kedua aktor Hong Kong ini adalah aktor laga papan atas yang sangat terkenal di masa itu. Sebelumnya, kedua aktor ini sudah sangat terkenal. Nyaris semua film yang mereka perani adalah film-film box-office. Wajar jika saat mereka berdua dipertemukan dalam satu film, film tersebut meraih kesuksesan yang berlipat.

Ditambah lagi, Heroes Two disutradarai oleh Sutradara Kawakan Chang Cheh, yang selalu membuat karya-karya box-office. Makin sempurnalah film ini sebagai film box-office.

Heroes Two bersetting masa Kerajaan Dinasti Qing, di mana saat itu Kaisar membumi-hanguskan Shaolin. Untuk menyelamatkan dirinya, para biarawan pun melarikan diri dan bersembunyi di hutan serta menyaru sebagai rakyat jelata di kota.

Dalam kondisi itu, muncullah Fang She Yi (Fu Sheng) - seorang murid Shaolin yang memiliki ilmu beladiri tinggi - yang membela para pendeta Shaolin. Tindakannya mengundang perhatian Jendral Che Kang (Zhu Mu) yang ingin memenjarakan Fang She Yi. Tetapi untuk mengkonfrontir Fang She Yi tentu tidak mungkin, karena dia akan kalah. Karena itu Jendral Che Kang menggunakan taktik adu-domba.

Jendral Che Kang menyebarkan gosip kalau Fang She Yi adalah dalang di balik pembakaran Biara Shaolin tersebut. Sementara itu, dia pun menjebak Hung Si Guan (Chen Kuan Tai), salah seorang murid Shaolin yang lain, dan menuduh Hung Xi Guan sebagai seorang penjahat.

Fang She Yi yang sangat naif - serta memiliki semangat untuk membela keadilan dan kebenaran - berusaha menangkap Hung Si Guan. Sebaliknya, Hung Si Guan berusaha menangkap Fang She Yi karena dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab atas kehancuran Biara Shaolin.

Keduanya pun akhirnya terlibat pertarungan hebat.

Untungnya, Fang She Yi dan Hung Si Guan akhirnya sadar kalau mereka diadu-domba oleh Jendral Che Kang. Karena itu, mereka pun berbalik arah, dan bekerja sama untuk menundukkan Jendral Che Kang dan para pengikutnya.

Film berdurasi 93 menit terbilang cukup seru karena banyak menampilkan adegan perkelahian dengan durasi yang cukup panjang. Meski demikian, karena gaya perkelahiannya yang atraktif, penonton tidak merasa bosan dan dapat menikmati film ini dengan menyenangkan.

Banyak kritikus film yang menilai film ini adalah sebuah film wuxia klasik yang berhasil menggabungkan unsur fiksi dan sejarah dengan sangat baik. Dan pujian tersebut khususnya dilayangkan pada koreografi perkelahian yang menarik dan tidak membosankan.

LO LIEH - Superstar Dunia Keturunan Indonesia

Jauh sebelum aktor Indonesia - Iko Uwais, Yayan Ruhian, Joe Taslim, Ray Sahetapy, dan Cinta Laura - dikenal di perfilman internasional, sebenarnya ada aktor kelahiran Indonesia yang lebih dulu "go-international" dan dikenal masyarakat dunia.

Dia adalah Lo Lieh (羅烈).

Bagi penggemar film wuxia Hong Kong, Lo Lieh adalah salah satu legenda yang sangat dihormati, baik oleh penonton film Hong Kong, tetapi penggemar film wu xia di seluruh dunia.

Terlahir dengan nama Wang Lap Tat di Kota Pematangsiantar, Sumatera  Utara, tanggal 29 Juni 1939, Lo Lieh menghabiskan masa kecilnya di Indonesia. Pada tahun 1962, saat Lo Lieh berusia 23 tahun, dia diajak keluarganya hijrah ke Hong Kong. Selain melanjutkan sekolah, Lo Lieh kemudian belajar ilmu bela diri (waktu itu dia memilih Kung Fu).

Karena kondisi perekonomian saat itu cukup berat, maka selain sekolah, Lo Lieh pun bekerja sambilan di Shaw Brothers Studio. Dari hanya sekedar sebagai pembantu, Lo Lieh yang ramah dan gampang bergaul itu dengan cepat dikenal banyak artis dan sutradara Shaw Brothers. Dia kemudian mulai mendapat peran kecil di beberapa film produksi Shaw Brothers, seperti Temple of The Red Lotus (1965), The Twin Swords (1965), dan Tiger Boy (1966). Saat bermain film, dia sudah menggunakan nama Lo Lieh agar lebih mudah diingat orang.

Meski terbilang karir filmnya bergerak pelan - karena hanya mendapat peran kecil - tetapi Lo Lieh tidak pantang menyerah.

Lo Lieh dalam film King Boxer (1970)
Pada tahun 1970, dia mulai mendapat kepercayaan menjadi Pemeran Utama. Film pertama yang diperaninya sebagai tokoh utama adalah Brothers Five (1970). Selanjutnya dia kembali mendapat kesempatan menjadi pemeran utama di film King Boxer (天下第一拳 - Five Fingers of Death). Film tersebut meraih sukses yang luar biasa dan menjadi salah satu film terlaris masa itu.  Selain itu, film King Boxer menampilkan teknik perkelahian "gaya baru" di masa itu, di mana ada adegan sang karakter terbang ke puncak pohon. Adegan ini menjadi tren di masa itu dan banyak digunakan oleh film-film wuxia pada zaman itu.

Film King Boxer menjadi salah satu film epik dan legendaris yang diakui banyak pengamat film sebagai film wuxia terbaik di masa itu.

Selanjutnya, Lo Lieh banyak bermain film-film wuxia box-office seperti Executioners from Shaolin (1977), The 36th Chamber of Shaolin (1978), Clan of the White Lotus (1980), dan lain-lain.

Pada pertengahan era 1980-an, film-film wuxia memasuki masa suram, di mana banyak penonton mulai beralih menonton film-film drama atau eksyen bergaya modern. Karena itu, Lo Lieh juga ikut banting stir dan memerani film-film drama serta eksyen modern. Hasilnya cukup menggembirakan, karena banyak film yang diperaninya sukses. Lo Lieh bahkan mendapat kesempatan untuk bekerja sama dengan Jackie Chan di film Dragons Forever (1988), Miracles (1989), dan Police Story 3 : Super Cop (1993).

Lo Lieh masih terus aktif bermain film hingga tahun 2001. Film terakhir yang diperaninya adalah Glass Tears (2001). Dan setelah itu, Lo Lieh - yang waktu itu telah berusia 62 tahun - memutuskan untuk pensiun. Beberapa bulan kemudian, pada tanggal 2 November 2002, Lo Lieh pun menghembuskan nafas terakhirnya setelah mengalami serangan jantung.

Semasa karirnya sebagai aktor Hong Kong, Lo Lieh sudah bermain di lebih dari 300 film. Selain film wuxia, dia juga bermain di film drama, komedi, horor, dan eksyen-modern. Lo Lieh merupakan aktor karismatik yang sangat dihormati karena kemampuan aktingnya yang luar biasa.




Tuesday 19 September 2017

Five Deadly Venoms (五毒)




Pada tahun 1978, Shaw Brothers merilis sebuah film yang menjadi legenda di antara penggemar film-film wuxia Hong Kong. Film tersebut adalah Five Deadly Venoms atau disingkat Five Venoms (五毒 - Wu Du - 5 Racun). Film arahan sutradara Chang Cheh ini diperani oleh 6 aktor wuxia masa itu : Kuo Chui, Lu Feng, Sun Chien, Lo Mang, Wei Pai, dan Chiang Sheng. Berkat film ini, keenam aktor ini menjadi sangat terkenal di dunia perfilman Hong Kong akhir dekade 1970an - akhir 1980an.

Keunikan film ini adalah menampilkan gaya bertarung kung-fu yang mengadopsi gerakan menyerang 5 hewan paling buas : Lipas, Ular, Kalajengking, Kadal Raksasa, dan Kodok Beracun. Teknik perkelahian jenis ini terbilang baru saat itu. Wajar jika kemudian menjadi tren-setter dan diikuti banyak film wuxia berikutnya.

Dikisahkan Pemimpin Klan Racun (Ti Wei) sedang sekarat. Dalam kondisi demikian, dia meminta bantuan murid terakhirnya, Yang Tieh (Chiang Sheng), untuk menemukan 5 orang kakak seperguruannya. Kelima murid pertama Klan Racun tersebut adalah murid yang mendapatkan pelatihan intensif dari Sang Guru. Masing-masing murid menerima ajaran 1 jenis jurus Racun Maut. Karena kelima murid tersebut dilatih di waktu yang berbeda, maka masing-masing dari mereka tidak saling kenal.

Sang Guru menguatirkan murid-muridnya tersebut menggunakan jurus yang diajarkannya untuk melakukan kejahatan. Karena itu, dia meminta Yang Tieh mencari kelima kakak seperguruanya. Apabila dia menemukan ada kakak seperguruannya yang melakukan kejahatan, maka Yang Tieh harus menggunakan segala cara untuk menghukum dan membunuh kakak seperguruannya tersebut. Masalahnya Yang Tieh tidak tahu siapa nama kelima kakak seperguruannya, dan di mana mereka berada sekarang. Sang Guru pun tidak ingat nama kelima muridnya tersebut, hanya nama panggilan mereka berdasarkan jurus yang diajarinya : Kalajengking, Kadal Raksasa, Kodok Beracun, Ulang, dan Lipas.

Berbekal informasi yang sangat minim, Yang Tieh pun pergi ke kota mencari kelima kakak seperguruannya. Dengan menyamar sebagai pengemis, Yang Tieh pun akhirnya berhasil menemukan kelima kakak seperguruannya. Dan benar saja dugaan sang guru. Ternyata di antara kelima murid tersebut, ada murid yang memang berniat jahat dan berusaha membunuh semua saudara seperguruannya, serta menguasai harta milik perguruan mereka.

Untuk mencegah niat buruk kakak seperguruannya, Yang Tieh kemudian bekerja sama dengan kakak seperguruannya yang lain untuk menghadapi musuh bersama mereka tersebut. Pertarungan mati-matian pun tidak terelakkan. Meski kemampuan Yang Tieh tidak sehebat kakak seperguruannya, tetapi begitu jurusnya digabung dengan salah satu Jurus Racun yang dimiliki kakak seperguruannya, maka Yang Tieh akan mampu melumpuhkan musuhnya.



TENTANG "VENOM MOB"
Pada tahun 1978, pasca kepopuleran film Five Deadly Venoms, muncullah sebuah grup aktor Hong Kong yang dikenal dengan sebutan Venom Mob. Anggota grup ini sendiri adalah para pemeran utama film Five Deadly Venoms itu sendiri yang terdiri dari 6 orang : Kuo Chui, Lu Feng, Chiang Sheng, Sun Chien, Lo Mang, dan Wei Pai.

Meski para penonton baru mengenal dan mendaulat keenam orang itu sebagai kelompok Venom Mob pasca kesuksesan film Five Deadly Venoms, sebenarnya mereka sendiri sudah saling kenal dan bersahabat sejak awal tahun 1970. Mereka adalah lulusan Peking Opera School yang berlokasi di Taiwan. Saat melihat kemampuan akting dan bela diri mereka, Sutradara Chang Cheh kemudian mengajak keenam orang tersebut untuk bermain film di Hong Kong.

Meski tidak memiliki kemampuan akting sebelumnya, tetapi lewat arahan Chang Cheh, mereka pun akhrinya mampu bermain dengan sangat baik di film Five Deadly Venoms. Dan film itulah yang kemudian membuat nama keenam aktor itu sukses luar biasa. Sepanjang tahun 1978 - 1985, keenam anggota Venom Mob sangat sibuk dengan jadwal shooting film. Lebih dari 50 film yang mereka perani sepanjang waktu itu, dan semuanya sukses luar biasa.

Meski selalu bermain film bersama-sama, namun tidak semua film diperani oleh semua personil Venom Mob. Paling 2 - 3 orang saja yang tampil dalam 1 film, dan mereka selalu tampil bergantian. Beberapa film sukses yang mereka perani waktu itu adalah : trilogi Brave Archer (1978), Cripped Avengers (1978), Shaolin Rescuers (1979), Two Champions of Shaolin (1980), Kid with the Golden Arms (1979), Ode to Gallantry (1982), dan lain-lain.




Thursday 23 March 2017

The Love Eterne (1963) - 梁山伯與祝英台



Disiarkan : 31 Desember 2016
 

Jika pada petualangan-petualangan sebelumnya, Kampung Pendekar selalu mengajak Anda untuk berkenalan dengan para pendekar sakti dengan ilmu-ilmu mereka yang tidak terkalahkan, maka hari ini Anda akan berkenalan dengan sepasang kekasih. Mereka bukan pendekar, bukan orang yang memiliki kesaktian tinggi, namun mereka hanyalah orang biasa. Meski  mereka bukan pendekar berilmu sakti, namun kisah hidup mereka yang penuh linangan air mata, telah menyentuh hati ribuan orang selama berabad-abad. Bahkan hingga hari ini, kisah mereka masih diminati dan terus diceritakan, baik dalam bentuk cerita mulut ke mulut, maupun dalam bentuk film layar lebar, serial televisi, drama panggung, tarian, serta Opera Tiongkok.

Ya, mungkin sebagian dari Pendengar sudah bisa mengira, kira-kira siapa mereka. Mereka adalah pasangan kekasih LIANG SAN BO dan ZHU ING THAY. Mereka adalah pasangan kekasih legendaris dari Tiongkok. Kisah Cinta mereka telah menjadi legenda yang sangat terkenal dan menjadi salah satu cerita paling fenomenal dalam sejarah cerita rakyat Tiongkok. Kisah LIANG SAN BO dan ZHU ING THAY – yang biasa disingkat dengan sebutan LIANG ZHU – merupakan satu dari 4 Cerita Rakyat Klasik Terbaik dari Tiongkok. Tiga cerita rakyat lain adalah Bai Se Zhuan (Legenda Ular Putih), Meng Jiang Ni (Legenda Gadis dari Meng Jiang), dan Niu Lang Zhi Nu (Legenda Pengembala Sapi dan Wanita Pemintal).  

Sejak tahun 2006, melalui Kemeterian Budaya Tiongkok, kisah LIANG ZHU kini telah menjadi bagian dari Warisan Budaya Dunia yang tercatat di UNESCO.



SEJARAH SANG PENDEKAR
LIANG SAN BO dan ZHU ING THAY adalah sepasang kekasih yang kisahnya telah melegenda dan menjadi cerita rakyat sejak berabad-abad silam.  Sebagian orang berpendapat kalau Legenda Liang San Bo dan Zhu Ing Thay hanyalah cerita fiktif saja. Namun sebagian orang lain mempercayai kalau Liang Sang Bo dan Zhu Ing Thay benar-benar pernah hidup.

Setidaknya ada bukti otentik yang membuktikan LIANG SAN BO dan ZHU ING THAY (LIANG ZHU) pernah hidup. Bukti tersebut adalah 2 catatan kuno yang terdapat dalam buku 十道四蕃(Shi Dao Si Fan Zhi) karya Sastrawan LIANG ZAI YEN, serta dalam buku Xian Shi Zhi (宣室志) ) karya Sastrawan Zhang Du (). Kedua buku itu ditulis di akhir Dinasti Tang (sekitar tahun 907 Sesudah Masehi). 

Dalam kedua buku tersebut dijelaskan tentang sosok Ing Thay, anak perempuan dari Keluarga Zhu yang tinggal di Shangyu,yang menyamar sebagai anak laki-laki agar bisa bersekolah. Di sekolahnya, Zhu Ing Thay berkenalan dengan seorang pemuda bernama Liang San Bo dari sebuah desa bernama Kuaiji, sebuah desa kecil yang terletak dekat Pantai Selatan Hangzhou, Propinsi Zhejiang. Sekarang desa tersebut telah menjadi kota bernama Shao Xing.

Di sekolah, Liang San Bo dan Zhu Ing Thay bersahabat sangat dekat. Karena selalu bersama-sama, Liang San Bo kemudian mengetahui kalau Zhu Ing Thay adalah seorang perempuan. Sejak itu, timbul benih-benih cinta di hati Liang San Bo. Ternyata cinta Liang San Bo tidak bertepuk sebelah tangan. Zhu Ing Thay pun memiliki perasaan yang sama dengan Liang San Bo. Setelah mereka berdua lulus sekolah. Liang San Bo berjanji untuk meminang Zhu Ing Thay setelah mendapatkan pekerjaan.

Tidak lama, Liang San Bo diterima bekerja sebagai  Staf Administrasi Pemerintahan di Kota Yin yang terletak di sebelah Barat Kota Ning Bo. Sesuai janjinya, Liang San Bo kemudian pergi melamar Zhu Ing Thay. Sayangnya, Liang San Bo terlambat karena Zhu Ing Thay telah dijodohkan keluarganya dengan seorang Pejabat dari Keluarga Ma. Zhu Ing Thay sendiri tidak mau dijodohkan, tetapi karena dipaksa keluarganya, maka dia pun akhirnya patuh dan menerima pernikahan tersebut.

Mengetahui Zhu Ing Thay yang akan segera menikah dengan Keluarga Ma, Liang San Bo jatuh sakit. Tidak lama, dia pun meninggal dan dimakamkan di Kota Mao, di sebelah Barat Kota Ning Bo.

Zhu Ing Thay mendengar kabar kematian San Bo. Hatinya hancur karena tidak sempat bertemu pria pujaan hatinya itu untuk yang terakhir kalinya. Karena itu,  di hari pernikahannya, Ing Thay memaksa para pengiringnya untuk membawanya mendatangi pemakaman Liang San Bo. Saat tiba di depan makam Liang San Bo, tiba-tiba terjadi badai dan hujan angin yang hebat. Zhu Ing Thay kemudian menginjak tanah makam Liang San Bo, sehingga makam itu pun terbelah, dan kemudian Zhu Ing Thay meloncat masuk ke dalam makam Liang San Bo. Hujan yang lebat disertai bedai kemudian membawa lumpur yang menutup makam itu.

Ketika orang-orang menggali kuburan Liang San Bo, mereka menemukan Zhu Ing Thay telah meninggal sambil memeluk jenazah Liang San Bo. Dari dalam kuburan itu, muncullah sepasang kupu-kupu yang terbang dan meninggalkan para penggali kuburan. Sepasang kupu-kupu itu diduga sebagai Arwah Liang San Bo dan Zhu Ing Thay.  Karena itulah, pasangan Liang-Zhu kemudian disebut orang sebagai Pasangan Kupu-kupu (Butterfly Lovers).

Kini, di lokasi yang dipercaya sebagai tempat pemakaman Liang San Bo dan Zhu Ing Thay tersebut telah dibuat menjadi sebuah Taman Kebudayaan bernama 梁祝文化公园 (Liang Zhu Wen Hua Gong Yen) atau Taman Budaya Liang Zhu, atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan Liang-Zhu Cultural Park. Taman ini terletak di perbatasan Sungai Yuyao di wilayan Distrik Yingzhou, Kota Ningbo, Propinsi Zhejiang, China.

Sementara itu, di Desa Shao Jia Du di kota Gao Qiao, sekitar 8 kilometer dari Kota Ningbo, terdapat sebuah Biara bernama Biara Liang San Bo (梁山伯 – Liang San Bo Miao). Biara ini didirikan oleh penduduk desa tersebut tahun 347 Sesudah Masehi, sebagai penghormatan mereka pada Liang San Bo. Di dalam biara, terdapat sepasang patung pria dan wanita yang merupakan patung Liang San Bo dan Zhu Ing Thay. Lokasi berdirinya Biara Liang San Bo itulah disebut banyak orang sebagai tempat pertama kali Legenda Liang-Zhu diceritakan dari mulut-ke mulut.

Hingga hari ini, Legenda Liang Zhu menjadi salah satu legenda yang paling disukai masyarakat Tiongkok. Kisah cinta Liang San Bo dan Zhu Ing Thay telah menjadi cerita klasik yang banyak diadaptasi dalam berbagai bentuk, mulai dari Opera Tiongkok, drama panggung film layar lebar, hingga serial televisi. Kisah Legenda Liang-Zhu tidak saja terkenal hanya di Tiongkok, tetapi juga hingga ke manca negara seperti Inggris, Australia, Vietnam, bahkan Indonesia dan diadaptasi serta dimainkan dalam bentuk drama panggung, maupun film layar lebar. Karena banyaknya adaptasi Legenda Liang-Zhu yang pernah dibuat, sudah tidak terhitung lagi berapa banyak  adaptasi tersebut dibuat.

Dari sekian banyak adaptasi yang dibuat, ada 1 adaptasi Legenda Liang-Zhu yang terbilang abadi dan hingga hari ini masih disukai banyak orang. Adaptasi itu adalah film layar lebar produksi Hong Kong berjudul The Love Eterne (Liang San Bo yi Zhu Ing Thay). Film ini diproduksi oleh Shaw Brothers, disutradarai Li Han Shiang, dan diperani oleh Ivy Ling Po (sebagai Liang San Bo) dan Betty Loh ( –Le Di).  Film The Love Eterne merupakan film produksi Hong Kong berbahasa Mandarin yang dirilis pertama kali tanggal 3 April 1963 dan tercatat dalam sejarah sebagai Film Layar Lebar pertama yang mengadaptasi Legenda Liang-Zhu.  

Film ini terbilang cukup unik karena diproduksi di Hong Kong, namun justru meraih banyak penghargaan di ajang penghargaan Golden Horse Awards yang diadakan di Taiwan. Ada pun penghargaan yang diraih adalah : Penghargaan Film Terbaik (Best Picture), Sutradara Terbaik (Best Director), Aktris Terbaik (Best Actress, yang diraih Betty Loh), Musik Terbaik (Best Music), Editing Terbaik (Best Editing), dan Penghargaan Khusus (Special Award for Outstanding Performance,yang diraih Ivy Ling Po).

Selain itu, film bergenre Opera Huang Mei ini juga merupakan film yang unik karena peran Liang San Bo yang seharusnya dimainkan pria, justru diperani oleh Ivy Ling Po yang merupakan seorang wanita. Ivy  Ling Po tidak saja berakting tetapi juga bernyanyi dalam film tersebut. Sedangkan lawan mainnya – yaitu Betty Lo – hanya menggunakan suaranya untuk dialog saja. Sedangkan saat adegan bernyanyi, suaranya diganti oleh Penyanyi Jing Ting.

The Love Eterne menjadi film Hong Kong paling sukses di tahun 1963. Selain sukses di negara asalnya, film ini pun meraih kesuksesan yang luar biasa di Taiwan. Bahkan film ini menjadi film dengan perolehan finansial terbesar sepanjang masa di Taiwan. Hingga hari ini belum ada film yang tayang di Taiwan yang mampu mengalahkan perolehan yang didapat film The Love Eterne.  Begitu populernya film The Love Eterne, hingga hari ini film ini masih banyak ditonton oleh penonton dari berbagai kalangan dan rentang usia, mulai dari yang berusia lanjut hingga para siswa SD.



KISAH SANG PENDEKAR
Alkisah di masa lalu, di daerah Ningbo, hiduplah seorang gadis dari keluarga kaya bernama Zhu Ing Thai. Dia adalah seorang gadis yang senang belajar. Namun di masa lalu, hanya pria saja yang boleh sekolah. Selain itu, karenaZhu Ing Thai dari keturunan keluarga bangsawan, maka dia tidak diperkenankan untuk sembarangan keluar dari rumahnya. Karena aturan itulah, maka Zhu Ing Thay tidak bisa bersekolah dan setiap pagi hanya bisa memandang dengan perasaan iri, melihat para pria pergi ke sekolah.

Ing Thay memohon orang tuanya agar diizinkan bersekolah ke Hangzhou. Namun orang tuanya tidak memberikan izin. Karena itu, Ing Thay mogok makan dan mengurung diri di dalam kamarnya.

Berhari-hari dia tidak makan, membuat kedua orang tuanya kuatir. Karena itu mereka kemudian memanggil dokter untuk mengecek kesehatan anaknya. Dokter tersebut datang ke rumah orang tua Ing Thay dan memberitahu kalau anaknya sakit mental dan harus diobati. Ada 2 cara untuk mengobati anaknya/ Cara pertama adalah dengan menggunakan ramuan yang terbuat dari obat-obatan aneh yang letaknya nun jauh entah di mana. Cara kedua,yang merupakan cara yang paling mudah adalah dengan memberikan izin anaknya bersekolah.

Mendengar hal itu, orang tua Ing Thay keberatan. Lalu sang dokter memberikan usul agar saat bersekolah nanti Ing Thay mengenakan pakaian pria saja, agar identitasnya tidak diketahui. Orang tua Ing Thay mentertawai usul dokter itu, karena mereka yakin tidak ada orang yang bisa tertipu dengan penampilan Ing Thay seperti itu. Lalu sang dokter pun membuka kedoknya, dan ternyata Ing Thay lah yang menyamar sebagai sang dokter.

Melihat penyamaran Ing Thay yang begitu meyakinkan, akhirnya orang tuanya pun menyetujui Ing Thay untuk bersekolah di Hangzhou.  Maka Ing Thay pun berangkat bersekolah ke Hangzhou.

Di tengah perjalanan, dia berjumpa dengan seorang pria asal Kota Bai Sha Gang, Kuai Ji, bernama Liang San Bo. Secara kebetulan, dia sedang berjalan menuju ke Sekolah Ni Shan di Hangzhau, sekolah yang sama dengan Ing Thay. 

Karena punya satu visi dan cara pandang yang sama, maka Liang San Bo dan Zhu Ing Thay kemudian mengikat tali persaudaraan.

Meski San Bo adalah seorang pelajar yang rajin, namun dia hanya jago dalam menghafal. Sebaliknya, Ing Thay sangat cerdas dan kritis. Dia selalu menelaah apa yang dibacanya. San Bo dan Ing Thay sering terlibat diskusi mata pelajaran yang mereka pelajari. Diam-diam, San Bo memuji kecerdasan Ing Tay yang selalu tajam dalam menganalisa pelajaran.

Satu waktu, Ing Thay jatuh sakit karena kelelahan belajar.  Mendengar kabar saudara angkatnya sakit, San Bo membesuk ke kamar Ing Thay. Dia kemudian berkeras untuk menemani Ing Thay di dalam kamarnya. Meski canggung, Ing Thay akhirnya mengizinkan San Bo tinggal bersamanya. Di dalam kamar, San Bo menyiapkan obat untuk Ing Thay. Perhatian San Bo itu membuat hati Ing Thay terharu. Bunga cinta pun mulai tumbuh di hati Ing Thay. 

Keesokan harinya, Ing Thay melihat San Bo sedang menjahit bajunya yang sobek. Melihat jahitan San Bo yang tidak rapi, Ing Thay kemudian membantunya menjahit.San Bo sangat kaget saat meihat kemampuan Ing Thay menjahit dengan sangat rapi sekali. Diam-diam, Nyonya Meng (Sang Kepala Sekolah tempat Ying Thay dan San Bo bersekolah) memperhatikan Ing Thay saat dia menjahitkan baju San Bo. Saat itu, dia sudah menduga kalau Ing Thay adalah perempuan. Namun dia diam dan membiarkan hal itu.

Tiga tahun telah berlalu. Hubungan Ing Thay dan San Bo sudah semakin akrab. Keduanya sangat sering berdiskusi banyak hal, terutama puisi, karya seni, dan politik. Wawasan Ing Thay yang luas semakin hari membuat San Bo takjub dan menaruh hormat padanya.

Satu hari, Ing Thay mendapatkan surat dari keluarganya yang meminta dia pulang karena Ibunya sakit. Ing Thay merasa berat untuk pulang karena itu berarti harus berpisah dengan San Bo. Namun karena harus menghormati permintaan orang tuanya, maka Ing Thay memutuskan untuk pulang ke rumah. Sebelum pulang, dia menghadap Kepala Sekolah Meng dan menjelaskan jati dirinya yang sebenarnya.  Kepala Sekolah rupanya sudah tahu jati diri Ing Thay yang sebenarnya.

Karena itu, Ing Thay kemudian menitipkan kalung Giok miliknya kepada Kepala Sekolah Meng dan memintanya untuk menyerahkan kalung itu kepada San Bo. Dia kemudian meminta Kepala Sekolah Meng bersedia menjadi Mak Comblang buat dirinya dan San Bo. Kalung itu merupakan tanda pengikat hubungan dirinya dengan San Bo.

Sebelum Ing Thay pulang ke kampung halamannya, dia mengajak San Bo bertemu untuk terakhir kalinya di tempat di mana mereka pertama kali bertemu dan mengikat tali persaudaraan. Di tempat itu, Ing Thay memberikan sinyal kepada San Bo dan menyuruhnya untuk menikah segera. Tetapi rupanya San Bo tidak paham dengan sinyal yang diberikan Ing Thay. Dia mengatakan bahwa dirinya hanya berfokus pada sekolah saja, dan belum berencana untuk membina rumah tangga. San Bo malah mengira Ing Thay pulang ke kampung halamannya karena akan dijodohkan dengan wanita pilihan keluarganya.

Mendengar hal itu, hati Ing Thay menjadi galau. Dia sangat ingin San Bo mengetahui jati dirinya. Tetapi dia pun teringat janjinya pada orang tuanya untuk tidak mengatakan identitas yang sebenarnya.  Karena itu, Ing Thay kembali memberi petunjuk San Bo tentang jati dirinya lewat puisi yang dibuatnya.

Namun lagi-lagi San Bo tidak paham maksud Ing Thay.

Setelah pulang ke rumah, Ing Thay terus merindukan San Bo. Sementara itu, San Bo pun tiba-tiba merasakan hal yang sama, di mana dia merasa sangat kehilangan Ing Thay.

Satu malam, Kepala Sekolah Meng mendatangi San Bo. Dia kemudian menceritakan jati diri Ing Thay yang sebenarnya. Awalnya San Bo tidak percaya. Dia masih berpikir Ing Thay adalah laki-laki, dan dia berniat menjodohkan San Bo dengan adiknya. Namun setelah Kepala Sekolah Meng mengeluarkan kalung Giok milik Ing Tay dan menegaskan kalau Ing Thai benar-benar adalah perempuan, barulah San Bo tersadar.

Karena Ing Thai dan Sn Bo telah berjodoh, maka Kepala Sekolah Meng menyuruh San Bo untuk segera menemui Ing Thay dan meminangnya.

Maka segera saja Liang San Bo berangkat menuju ke rumah Zhu Ing Tay yang terletak di Ningbo. Sepanjang perjalanan, San Bo mengingat-ingat kembali semua puisi yang dibuat Ing Thay, dan makin tersadarkan San Bo kalau semuanya adalah petunjuk-petunjuk yang diberikan Ing Thay padanya. 

Sementara itu, di kediamannya, Keluarga Ma meminang Zhu Ing Thay. Ing Thay tidak mau menikahi anak dari Keluarga Ma, karena masih berharap Liang San Bo datang untuk meminangnya. Selain itu, anak Keluarga Ma yang akan menikahinya adalah Ma Wen Chai, yang tidak lain adalah pria hidung belang yang sudah terkenal karena sering mempermainkan para wanita.

Mendengar penolakan Ing Thay, orang tuanya sangat marah. Ing Thay pun memberitahu orang tuanya kalau dia sudah mendapatkan jodohnya di sekolah di Hangzhou dan menolak dijodohkan dengan orang lain.

Ayah Ing Thai berang dan mengatakan keluarga Liang San Bo pastilah dari keluarga orang biasa, sehingga tidak sepadan dengan keluarga kaya raya seperti mereka. Karena itu Ayah Ing Thai memaksa anaknya untuk membatalkan pertunangan dengan San Bo. Tetapi Ing Thay berkeras tidak mau menuruti ayahnya. Karena itu, Ayahnya tetap memaksa Ing Thay harus menikahi anak Keluarga Ma.

Beberapa hari kemudian, Liang San Bo tiba di Ningbo. Dia langsung menemui rumah Keluarga Zhu. Betapa terkejutnya dia melihat wujud asli Zhu Ing Thay yang sangat cantik. Pertemuan mereka pun menjadi sangat kaku. Namun kemudian mereka segera akrab setelah Ing Thay menceritakan jati dirinya dan tujuannya bersekolah di Hangzhou.

Liang San Bo pun menceritakan maksud dan tujuannya ke rumah Zhu Ing Thay yaitu ingin meminangnya. Tapi Ing Thay mengatakan kepada San Bo kalau dia terlambat datang beberapa hari ke rumahnya, karena dia sudah dijodohkan orang tuanya pada Ma Wen Cay, anak dari keluarga Bangsawan Ma.

Mendengar kabar itu, San Bo kaget dan tidak dapat berkata apa-apa. San Bo tidak terima dan mengira Ing Thay hanya main-main saat memberikan kalung giok sebagai tanda pertunangan. San Bo meminta Ing Thay untuk membatalkan pertunangan dengan Keluarga Ma. Tetapi pertunangan sudah tidak bisa lagi dibatalkan dan dalam waktu beberapa hari lagi, Ing Thay sudah akan menikah.

Mendengar hal itu, San Bo meninggalkan rumah Ing Thay dengan hati yang hancur berkeping-keping. Hal yang sama juga dirasakan Ing Thay yang kecewa tidak dapat menikah dengan San Bo.

Tiba di rumahnya, Liang San Bo jatuh sakit. Sakit hati yang dialaminya, membuat kesehatan San Bo menurun dalam waktu sangat singkat. Tidak lama kemudian, San Bo pun meninggal dunia.

Saat Ing Thay mendengar berita kematian San Bo, dia tidak kuasa menahan kesedihan dan tangisnya. Dia kemudian memutuskan tidak jadi menikah dan ingin menemui makam San Bo. Tetapi orang tuanya berkeras Ing Thay harus menikah.

Karena itu, Ing Thay setuju untuk menikah, asal keluarganya menuruti persyaratan yang dibuatnya, yaitu kereta pandu yang ditumpangi Ing Thay haruslah membawa lampu duka cita dan membawa dupa. Mereka pun harus berjalan ke arah Selatan, melewati makam Liang San Bo. Jelas permintaan ini ditentang ayahnya, karena dalam aturan masyarakat Tiongkok, orang yang menikah tidak boleh mendatangi kuburan karena akan terjadi hal buruk.

Tapi Ing Thay tetap berkeras tidak mau menikah jika Ayahnya tidak mau menuruti kemauannya. Akhirnya ayah Ing Thay pun menuruti kemauan anaknya, yang penting dia bisa menikah dengan Keluarga Ma.

Saat Ing Thay dan orang-orangnya melewati Makam Liang San Bo, terjadilah badai. Namun Ing Thay berhasil tiba di makam San Bo. Dia pun memberikan hormat terakhir pada San Bo.


Setelah itu, terjadilah gempa bumi, dan makam San Bo pun terbelah. Ing Thay masuk ke dalam makam San Bo, dan makam itupun tertutup kembali.

Dari dalam makam, muncullah sepasang kupu-kupu yang terbang ke angkasa. Film ini diakhiri dengan terbangnya  sepasang kupu-kupu itu ke langit sambil bercengkrama, yang menjadi pertanda bahwa cinta Liang San Bo dan Zhu Ing Thay akhirnya bersatu meski keduanya telah tiada.

Selain menceritakan kisah cinta Liang-Zhu, film ini juga mengangkat tema kesetaraan hak pria dan wanita dalam mengenyam pendidikan. Di masa lalu, wanita tidak diizinkan bersekolah, karena masyarakat menilai wanita hanya pantas mengurusi rumah saja. Tapi kini, hak untuk mengenyam pendidikan bukan lagi semata-mata milik pria, tetapi juga wanita. Karena itu, untuk Para Wanita, janganlah ragu untuk bercita-cita tinggi. Karena dengan kesempatan belajar yang sedemikian besar, apapun cita-citamu, semuanya bisa terwujud.

Wednesday 22 March 2017

Come Drink With Me (1966) - 大醉俠









Disiarkan : 24 Desember 2016

Di tahun 1960-an ada seorang  Pendekar Wanita Legendaris yang terkenal bernama Cin Yen Ce atau Si Walet Emas.

Bagi penggemar film wuxia di era 1960-an, kemungkinan besar pernah mendengar nama Pendekar Wanita yang satu ini.

Cin Yen Ce adalah karakter fiktif yang terdapat dalam film Come Drink With Me (大醉 – Da Zhui Xia), sebuah film produksi Shaw Brothers – Hong Kong. Film ini pertama kali dirilis di Hong Kong tanggal 7 April 1966.

Cin Yen Ce adalah seorang pendekar wanita yang sejak kecil telah menyukai ilmu bela diri, sehingga sejak masih sangat belia, dia telah mendapatkan pelatihan ilmu bela diri intensif dari Ayahnya, Jendral Chang Zhi Chun.

Jendral Chang Zhi Chun adalah seorang Jendral yang dihormati masyarakat Kota 2 Sungai karena kejujuran dan dedikasinya pada masyarakat.

Ketika ditunjuk Kaisar untuk menjadi Gubernur di kota tersebut, Jendral Chang Zhi Chun mengangkat Cin Yen Ce dan anak sulungnya, Cang Bu Qing menjadi Kepala Keamanan Kota. Di bawah pengawasan Cin Yen Ce dan Cang Bu Qing, Kota 2 Sungai menjadi kota yang sangat aman dari tindakan kriminal. Nama Cin Yen Ce menjadi terkenal karena dia sangat berani bertarung sendirian melawan para penjahat.  Meski usianya waktu itu masih sangat belia (sekitar 17 – 19 tahun), Cin Yen Ce mampu mengalahkan penjahat manapun yang mencoba mengganggu keamanan di Kota 2 Sungai.

Karena kemampuannya itu, Cin Yen Ce sering dimintai bantuan Gubernur-gubernur dari kota lain untuk menghadapi para penjahat yang mengganggu ketentraman kota. Alhasil, karena sering memberantas para penjahat, nama Cin Yen Ce sangat terkenal dan ditakuti oleh para penjahat mana pun. 

Saat pertama kali dirilis tahun 1966, film Come Drink With Me sebenarnya tidak sukses dan kurang mendapat tanggapan yang positif. Tetapi ketika dirilis di Amerika Serikat beberapa bulan kemudian, film tersebut meraih kesuksesan luar biasa.

Berita tentang kesuksesan film Come Drink With Me di Amerika Serikat tersebar luas di Tiongkok dan Hongkong, membuat banyak penonton yang kemudian penasaran dan ingin tahu tentang film tersebut.

Karena itu, ketika dirilis ulang di Hong Kong setahun kemudian, film Come Drink With Me langsung melejit dan menjadi film terlaris di masa itu. Berkat film ini, nama aktris Cheng Pei Pei  yang waktu itu baru berusia 19 tahun langsung melejit menjadi Aktris Papan Atas Hong Kong. Selain itu, karakter Cin Yen Ce yang diperani Cheng Pei Pei menjadi sangat terkenal pasca perilisan film Come Drink With Me.

Para Kritikus Film Dunia menyebut film Come Drink With Me sebagai salah satu film terbaik Hong Kong dan hingga hari ini dianggap sebagai Film Klasik Wuxia Terbaik yang pernah ada sepanjang sejarah perfilman Hong Kong. Film ini terbilang unik karena tidak menampilkan koreografi pertarungan layaknya film wuxia Hong Kong yang menggunakan gerakan koreografi pertarungan, tetapi justru menampilkan gerakan pertarungan seperti tarian.

Film Come Drink With Me terbilang unik karena memasukkan adegan bernyanyi sebagai bagian dari cerita film. Adegan ini mengadaptasi pertunjukan Opera Beijing yang memasukkan unsur nyanyian sebagai bagian dari cerita. Gaya ini menjadi tren yang kemudian digunakan oleh banyak film Hong Kong, khususnya film-film wuxia yang beredar di era 1970 – 1990an. Beberapa film yang menggunakan tren seperti adalah Shaolin Temple, Kids from Shaolin, Swordsman, dan dwilogi Fong Sai Yuk.

Film Come Drink With Me banyak menampilkan adegan yang kelak menjadi ikonik dan ditiru oleh film-film lain. Misalnya pertarungan antara Cin Yen Ce melawan para bandit di dalam penginapan. Pertarungan di ruang tertutup itu merupakan hal baru yang belum pernah ditampilkan sebelumnya di film-film wuxia. Biasanya dalam film wuxia, pertarungan selalu dilakukan di lapangan terbuka atau tempat luas. Adegan ini kemudian menginspirasi banyak film eksyen Hong Kong selanjutnya yang juga menggunakan adegan pertarungan di dalam ruangan.  Beberapa diantaranya adalah Dragon Inn (1967), Game of Death (1973), Once Upon A Time in China (1990), Fearless (2014), dan Ip Man 3 (2015).

Selain itu, film ini juga menampilkan adegan seorang bandit melempar Cin Yen Ce dengan kursi yang disambut enteng oleh Cin Yen Ce. Adegan penggunaan kursi sebagai senjata tersebut menginspirasi Jackie Chan yang kemudian menampilkan adegan perkelahian menggunakan kursi sebagai senjata melawan musuh-musuhnya. Adegan ini menjadi ikonik dan sering dipakai Jackie Chan di beberapa filmnya.

Film ini juga menampilkan adegan perkelahian yang tidak umum lainnya, yaitu pertarungan menggunakan “Chi” (Tenaga Dalam) yang digambarkan dengan keluarnya semburan asap dari telapak tangan.  Penggunaan ilmu tenaga dalam ini juga menjadi ikonik yang kemudian banyak ditiru oleh film-film wuxia lain, dan melahirkan genre wuxia baru, yaitu Wuxia Fantasi. Dalam Genre Wu Xia Fantasi, para pendekar menggunakan pukulan jarak jauh seperti gelombang energi, di mana jika pukulan itu menghantam tanah akan menimbulkan rangkaian ledakan yang dramatis. Genre ini sangat populer di era 1970-pertengahan 1980an. Film-film produksi Shaw Brothers banyak memproduksi film yang menggunakan adegan penggunaan tenaga dalam seperti yang ditampilkan di film Come Drink With Me.

Dengan semakin berkembangnya teknologi film, di mana teknik efek khusus juga semakin canggih maka adegan yang menampilkan penggunaan tenaga dalam pun dapat dibuat lebih dramatis lagi. Di tahun 1980-an, efek khusus yang menampilkan serangan tenaga dalam dibuat sangat fantastis dengan tambahan efek sinar yang keluar dari tangan saat seorang pendekar melepaskan energi tenaga dalamnya. Penggunaan efek khusus tembakan sinar tersebut terinspirasi dari film layar lebar Star Wars. Efek khusus ini tidak saja dipakai di film layar lebar, tetapi juga digunakan di serial-serial televisi Hong Kong.  Beberapa film layar lebar dan serial televisi yang cukup terkenal dan menggunakan efek khusus seperti ini di antaranya Return of the Condor Heroes (Sen Tiaw Xia Li), Demi Gods and Semi Devils (Thien Long Ba Bu), Buddha’s Magic Palms (Ju Lai Seng Cang), Journey to the West (Xi You Ci), 8 Immortals (Ba Xien Guo Hai), dan lain-lain.

Dan hal lain yang cukup ikonik dari film ini adalah pertarungan menggunakan senjata tongkat. Mungkin di masa kini, pertarungan menggunakan tongkat sudah menjadi hal yang sangat umum dan wajar di film-film wuxia. Namun di masa lalu, film wuxia sebenarnya hanya menampilkan pertarungan senjata sejenis, yaitu pedang melawan pedang.  Barulah di film Come Drink With Me, Sutradara King Hu menampilkan adegan pertarungan senjata yang tidak sejenis, yaitu pedang dan tongkat. Pertarungan ini menjadi sangat ikonik, sehingga di film-film berikutnya, film wuxia tidak lagi menampilkan pertarungan pedang dengan pedang, tetapi juga pertarungan dengan senjata yang beragam, mulai dari yang umum seperti pedang, golok, dan pisau, hingga senjata yang tidak umum seperti Kampak, Nunchaku (Double Stick- Xuang Cie Kun), tombak, cambuk, gelang besi, jala, ranting pohon,  hingga sumpit dan ketapel.

Film Come Drink With Me disutradarai oleh King Hu, dan diperani oleh Cheng Pei Pei, Yueh Hua, Chan Hung Lit, Lee Wan Chung, Ku Feng, Cheng Siau Tung, dan Yang Chi Hing. Meski merupakan produksi film Hong Kong, film berdurasi 91 menit ini menggunakan dialog bahasa Mandarin. 



KISAH SANG PENDEKAR
Alkisah Para pasukan kerajaan sedang memindahkan tahanan.  Pemindahan tahanan itu dipimpin oleh Jendral Zhang Bu Qing.  Jendral Zhang adalah anak dari Jendral Zhang Zhi Cun, Gubernur Kota 2 Sungai yang terkenal karena kerap menangkapi para penjahat kelas kakap.

Di tengah perjalanan, mereka dihadang oleh Kelompok Lima Jari yang merupakan kelompok perampok yang terkenal karena kesadisan mereka. Mereka meminta agar Pemimpin mereka dilepaskan. Namun permintan itu ditolak, sehingga kelompok itu pun menyerang pasukan kerajaan tersebut.

Dalam pertarungan itu, Jendral Zhang ditawan oleh kelompok tersebut. Mereka kemudian menanyakan di mana pemimpin mereka ditahan. Namun karena Jendral Zhang tidak tahu tempat penahanan Pemimpin Kelompok Lima Jari, maka dia pun dipaksa menulis surat pada ayahnya dan meminta Jendral Zhu Cun melepaskan pemimpin mereka. Jika tidak, maka mereka akan mencabut nyawa Jendral Zhang.

Ketika mengetahui anaknya ditahan oleh para perampok, Gubernur Zhi Cun kemudian meminta bantuan Cin Yen Ce (Burung Walet Emas), seorang pendekar wanita digjaya pengikut setia Gubernur Zhi Cun. Tanpa membuang waktu, Cin Yen Ce pun mendatangi kota tempat para perampok itu tinggal. 
Tiba di kota tersebut, Cin Yen Ce singgah di sebuah restoran merangkap penginapan bernama Penginapan Gunung Tinggi untuk makan siang.  Saat memesan makanan, dia sengaja memesan menu aneh : 5 ons arak yaang terbuat dari Tulang dan Cakar Harimau. Karena minuman itu tidak ada, dia pun mengganti pesanannya menjadi 5 ons arak Shao Dao dan makanan.  Pesanan menu Cin Yen Ce yang aneh itu, segera menarik perhatian para anggota perampok yang secara kebetulan juga makan di restoran tersebut.  Mereka segera tahu kalau orang yang memesan makanan tersebut adalah Cin Yen Ce.

Para perampok segera mengusir para pelanggan yang sedang menikmati makanan mereka di restoran. Setelah semua orang pergi, mereka pun menutup restoran tersebut.  Salah seorang perampok bernama Xiao Yang Ce menghampiri Cin Yen Ce menanyakan maksud dan tujuan Cin Yen Ce mendatangi tempat mereka. Cin Yen Ce pun menjelaskan kalau tujuannya ke sana adalah untuk membebaskan Jendral Zhang, yang tidak lain adalah kakak kandungnya.
 Xiao Yang Ce mengatakan, jika Cin Yen Ce ingin kakaknya dilepas, maka dia pun meminta Pemimpinnya juga dilepas. Cin Yen Ce menolak permintaan Xiao Yang Ce. Mendengar hal itu, Xiao Yang Ce menyuruh rekan-rekannya untuk menghabisi Cin Yen Ce.

Di tengah pertarungan mereka, tiba-tiba datanglah seorang pengemis misterius bernama Fan Da Bei yang mengganggu pertarungan mereka. Akhirnya Cin Yen Ce memutuskan untuk menghentikan pertarungan dan menginap di Penginapan Gunung Tinggi tersebut.

Malam harinya, para perampok mencoba menculik Cin Yen Ce. Tapi sebelum niat mereka dilakukan, Pengemis Fan Da Bei memasuki kamar Cin Yen Ce dan mengganggu tidur sang pendekar wanita itu. Dia sengaja membawa Cin Yen Ce keluar dari kamarnya. Maka ketika para perampok memasuki kamar Cin Yen Ce, mereka tidak menemukan pendekar tersebut.

Ketika mengetahui Pengemis Fan Da Bei menyelamatkannya, keesokan paginya Cin Yen Ce menyampaikan ucapan terima kasihnya. Tetapi Pengemis Fan Da Bei pura-pura tidak paham maksud Cin Yen Ce.

Cin Yen Ce kemudian mengetahui kalau Pengemis Fan Da Bei dikenal masyarakat sekitar dengan julukan Si Kucing Mabuk. Dan beberapa orang mengetahui kalau Fan Da Bei memiliki kemampuan bela diri yang luar biasa, sehingga banyak orang percaya kalau Fan Da Bei sebenarnya adalah seorang pendekar yang sedang menyamar.

Meski demikian, bukti kalau Fan Da Bei adalah seorang pendekar tidak pernah ada. Selain itu, perilakunya yang polos dan lugu, kadang membuat orang ragu dan tidak percaya kalau dia punya kemampuan bela diri. 

Cin Yen Ce mendapatkan kabar kalau para perampok yang menahan kakaknya bersembunyi di sebuah Biara yang terletak tidak jauh dari tempat penginapannya. Cin Yen Ce pun menyamar lalu mendatangi biara tersebut guna menyidiki kebenaran kabar yang dia terima. Namun penyamaran Cin Yen Ce terbongkar, sehingga dia kemudian dikepung oleh kelompok perampok tersebut. Pertarungan di antara mereka pun tidak dapat terhindarkan.

Meski dalam pertarungan tersebut, Cin Yen Ce berhasil melukai banyak anggota perampok yang mengepungnya, tetapi dia kemudian terluka oleh panah beracun. Untungnya, dia masih bisa melarikan diri dari kepungan para perampok tersebut. Di tengah perjalanan, dia bertemu dengan Fan Da Bei yang segera menolongnya.

Beberapa orang perampok yang mencari Cin yen Ce menemukannya di tempat kediaman Fan Da Bei di dalam hutan. Mereka pun mendatangi Fan Da Bei untuk mengambil Cin Yen Ce. Tapi Fan Da Bei melindungi Cin Yen Ce dan bertarung dengan para perampok itu. Mereka pun dengan mudah dapat dihabisi oleh Fan Da Bei.

Fan Da Bei kemudian berpura-pura menemukan mayat para perampok dan kemudian mengembalikan mayat tersebut ke biara tempat para perampok bersembunyi. Dia mendatangi tempat itu untuk mencari informasi mengenai rencana para perampok.

Di saat bersamaan, pemilik Biara - tempat para perampok bersembunyi – kembali dari perjalanan jauhnya. Pemilik biara tersebut bernama Liao Kung, dan ternyata Liao Kung juga adalah anggota perampok tersebut. Liao Kung mengenali Fan Da Bei,  karena Fan Da Bei adalah adik seperguruannya. Sebelum guru mereka meninggal, Fan Da Bei diberi pusaka perguruan berupa Tongkat Hijau yang merupakan lambang kepemimpinan perguruan mereka.  Dengan memiliki Tongkat Hijau,maka Fan Da Bei menjadi pemimpin perguruan. Liao Kung tidak terima dan berusaha menguasai Tongkat Hijau itu. Fan Da Bei yang tahu niat jahat kakak seperguruannya itu, kemudian kabur dengan membawa Tongkat Hijau.

Setelah mengetahui jati diri Fan Da Bei, para perampok pun mengepung Fan Da Bei. Tapi Fan Da Bei berhasil melarikan diri dan kembali ke pondok persembunyiannya di hutan.

Meski melarikan diri, namun Liau Kung berhasil menemukan keberadaan Fan Da Bei. Dia meminta Fan Da Bei menyerahkan Tongkat Hijau kepadanya. Tetapi Fan Da Bei meminta waktu 3 hari karena dia harus menuntaskan sebuah tugas. Akhirnya Liau Kung pun setuju dan menunggu 3 hari.

Sementara itu, Jendral Zhi Jun akhirnya setuju untuk menuruti kemauan para perampok. Dia bersedia melepaskan Pemimpin Perampok apabila mereka mau melepaskan Jendral Zhang. Para perampok setuju, dan mereka pun melakukan pertukaran tawanan. Di saat pertukaran tawaran tersebut, Fan Da Bei sengaja mengacaukan rencana pertukaran tawanan tersebut, sehingga konsentrasi para perampok teralih.

Pada waktu Fan Da Bei mengalihkan perhatian para perampok, Cin Yen Ce berhasil menyelamatkan kakaknya - Jendral Zhang - dan membawanya kabur. Mengetahui Cin Yen Ce menyelamatkan Jendral Zhang, para perampok pun mengejarnya.  Mereka berhasil mengepung Cin yen Ce dan terjadilah pertarungan di antara mereka.

Liau Kung datang membantu para perampok. Dengan kemampuan bela dirinya, dia berhasil mengalahkan Cin Yen Ce. Pada saat kritis, Fan Da Bei datang dan menyelamatkan Cin Yen Ce. Dia pun berhadapan dengan Liau Kung.

Dalam pertarungan di antara keduanya, Fan Da Bei berhasil mengalahkan Liau Kung. Meski demikian, dia melepaskan Liau Kung dan membiarkannya hidup. Namun rupanya Liau Kung tidak terima dikalahkan adik seperguruannya.

Karena itu, malam harinya dia mendatangi Fan Da Bei dan mengajaknya berduel kembali. Dalam pertarungan hidup dan mati, Fan Da Bei akhirnya berhasil membunuh kakak seperguruannya.

Ada adegan menarik dalam film Come Drink With Me yang bisa jadi renungan kita bersama. Dalam sebuah adegan, ketika Cin Yen Ce ingin menyampaikan rasa terima kasihnya dengan memberi uang pada Fan Da Bei, Fan Da Bei justru menolak uang tersebut. Dia tidak mau diberi uang begitu saja. Dia justru meminta agar Cin Yen Ce mengizinkannya bernyanyi untuk Cin Yen Ce. Setelah bernyanyi, barulah  Fan Da Bei besedia menerima uang Cin Yen Ce.

Adegan ini sebenarnya merupakan ajaran moral yang sangat baik bagi kita semua. Hidup miskin tidak menjadi alasan kita harus pasrah hidup dengan mengharapkan belas-kasihan orang dan  meminta-minta.  Tapi justru kita harus berusaha lebih kuat dan bekerja lebih tekun.

Seperti yang ditunjukkan Fan Da Bei. Meski dia adalah seorang Pendekar Miskin, tetapi dia menolak menerima uang hanya karena alasan belas kasihan. Dia justru mengajukan diri untuk bekerja dulu sebelum menerima uang tesebut. Karena baginya, bekerja dulu baru mendapatkan imbalan jauh lebih terhormat daripada hidup dari meminta-minta, atau meminta imbalan tanpa melakukan kerja apapun. 

Jadi, janganlah kita membiarkan diri untuk hidup dari meminta-minta atau mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Tetapi bekerjalah dengan sungguh-sungguh. Sebab bekerja tidak saja membuat kita dihargai orang lain, tetapi juga meningkatkan kualitas dan kemampuan diri kita.  

Film ini juga mengajarkan hal lain, bahwa wanita sebenarnya memiliki kemampuan yang tidak berbeda dengan pria. Ada sebagian wanita yang merasa minder dan merasa tidak bisa apa-apa. Padahal jika mau belajar, dia memiliki kemampuan yang tidak kalah dengan pria. Hari ini YANG GUO melihat begitu banyak wanita-wanita luar biasa yang telah menjadi inspirasi banyak orang.  Mereka adalah orang-orang yang dengan berani mendobrak tradisi generasi masa lalu yang menyatakan kalau wanita hanya pantasnya jadi ibu rumah tangga dan kerjanya di balik dapur saja. Kenyataannya, wanita pun bisa menjadi Dosen, Profesor, Dokter, bahkan Menteri. Karena itu, untuk para wanita, jangan takut untuk meraih mimpi. Belajarlah setinggi mungkin dan yakinlah, bahwa apapun cita-citamu, semuanya mungkin terwujud.